Kampung Cireundeu, Dikagumi Namun Didiskriminasi

Gerbang Masuk ke Desa Cireundeu /dodi sanjaya
Setelah beberapa jam dalam perjalanan. Mobil berjenis bus yang saya naikin berhenti di jalan aspal yang kecil, di sebuat desa yang bernama Cierendeu (19/11/2014). Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun secara administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Didepan gapura masuk kejalan Desa Cireundeu, terdapat tulisan Hanacaraka “Wilujeng Sumping Di Kampung Cireundeu” dengan arti selamat datang untuk para tamu di daerah Kampung Cireundeu. Tulisan ini menandakan kalau kampung ini mewarisi adat istiadat peninggalan leluhur dan sampai sekarang masih melestarikannya. Untuk masuk ke kampung itu,saya berjalan kaki sejauh seratus meter dari gerbang masuk. Dalam perjalanan itu saya tidak sendiri, ada sekitar 30 orang yang ikut bersama saya, 16 orang berasal dari Myanmar dan sisanya berasal dari berbagai daerah di Jabodetabek.

Bale Sarasehan Kampung Cireundeu /dodi sanjaya
Setelah berjalan seratus meter sebuah bangunan etnik berdiri, itu adalah Balee Saresehan. Balee Saresehan terdiri dari sebuah bangunan induk yang berdindingkan bambu, lantainya terbuat dari keramik sementara atapnya terbuat dari genteng tanah. Disamping bangunan induk ada 3 buah serambi, serambi itu tempat mereka duduk duduk duduk santai dan berdiskusi.

Didalam Balee Saresehan ada sebuah tulisan yang sangat menonjol terpampang, sebuah tulisan berbahasa sunda yang berbunyi Tutup Taun 1947 Ngemban Taun 1 Sura 1948 Saka Sunda Mugin Atur Rukun Rapih Sareng Sasama Hirup. Maksud dari tulisan itu adalah . Manusia sudah seharusnya sadar dan memahami bahwa hidup di dunia ini tidak hanya sendirian namun berdampingan dengan makhluk hidup lainnya. Manusia hidup dengan hewan, tumbuhan, laut, gunung, api kayu, langit dan elemen lainnya. Oleh karena itu, seharusnya manusia mampu menempatkan diri sebagai makhluk yang hidup berdampingan dengan makhluk lainnya, manusia seharusnya menghargai alam dan lingkungan bukannya merusak alam dan lingkungan.

Suasana di dalam Bale Sarasehan
 Kampung Cireundeu /dodi sanjaya
Kemudian di langit-langit atap bangunan itu terdapat kain yang bewarna Hitam, Kuning, Putih, merah. Warna hitam bermakna Bumi, Putih adalah air, Kuning Angin dan Merah adalah darah. Itu bermakna bahwa semua kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur warna tersebut.

Sedangkan didinding lainnya terdapat banyak piagam penghargaan dari Pemerintah dan juga terpampang foto foto Pangeran dan Presiden susilo Bambang Yudhoyono.

Sebagian besar masyarakatnya menganut dan memegang teguh kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan pada tahun 1918. “wiwitan” dalam Sunda Wiwitan adalah “permulaan” atau “awal”. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri antara lain sistem keyakinan tradisi Sunda Lama sebelum datangnya agama-agama lain ke nusantara. Kata “Sunda” sendiri bukan hanya bermakna etnis Sunda, tetapi bermakna filosofis yang artinya “damai” dan “cahaya”. 

Agama Keyakinan Masyarakat dan Diskriminasi

Masyarakat Sunda Wiwitan /dodi sanjaya
Agama Sunda Wiwitan adalah agama asli Indonesia. Namun sayangnya, kepercayaan minoritas ini masih mendapat diskriminasi dengan tidak diakui sebagai aliran kepercayaan resmi Indonesia. Sampai saat ini penganut aliran Sunda Wiwitan sulit mendapat identitas diri karena belum diakui oleh pemerintah.

Sangat aneh memang ketika pemerintah tidak mengakuinya. Begitu banyak penghargaan yang diterima oleh mereka dari pemerintah, bahkan Presiden SBY pernah mengunjungi mereka

Namun untuk persoalan kepercayaan malah pemerintah tidak mengakuinya bahkan mendiskriminasinya.

Kunjungan Presiden ke Kampung Cireundeu
Pengisian kolom agama di KTP dengan pemaksaan terhadap enam agama yang diakui salah satu bentuk diskriminasinya, selain itu pernikahan Sunda Wiwitan tidak diakui oleh negara sehingga berdampak pada stigmasasi bahwa anak itu adalah anak yang dilahirkan dari kumpul kebo. 

Didunia pendidikan mereka juga mengalami diskriminasi. Ada banyak diskriminasi pendidikan yang dialami. Salah satunya adalah seorang perempuan yang kuliahnya menjadi terbelengkalai gara gara dia penganut sunda wiwitan. Perempuan tersebut harus membuat tugas akhirnya dengan menggunakan bahasa arab, padahal dia bukanlah orang Islam. Namun karna dia menolak untuk menulis dalam bahasa arab akhirnya kuliahnya menjadi terbelengkai. Padahal kuliahnya sudah hampir selesai.

Hal lain yang menjadi perhatian serius adalah masalah pemakaman umum yang kian mendiskriminasi penganut aliran kepercayaan. Pemakaman umum yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, kini diperuntukkan bagi agama yang diakui saja. Akhirnya, tidak sedikit penganut aliran kepercayaan yang dikuburkan di belakang rumahnya.

Diskriminasi yang mereka alami sebenarnya sudah terjadi sejak penjajahan Belanda. Pada saat itu pemerintah kolonial sengaja untuk mengadu domba institusi agama seperti pesantren dengan aliran kepercayaan. Untuk membatasi eksistensi aliran kepercayaan, pemerintah kolonial membuat stigma bahwa aliran kepercayaan adalah kelompok sesat. Kepada kelompok muslim, pemerintah kolonial mengatakan bahwa aliran kepercayaan adalah kelompok murtad. Sehingga resistensi terhadap kelompok kepercayaan pun semakin besar. 

Makanan Pokok

Mengolah Singkong untuk dijadikan Rasi /dodi sanjaya
Masyarakat Kampung Cireundeu tidak mengkonsumsi nasi seperti masyarakat pada umumnya. Awalnya saya berpikir bahwa masyarakat yang memakan singkong (Orang Aceh menyebutnya Ubi Kayu) adalah masyarakat yang tidak mampu, namun pemikiran saya berubah ketika saya mendatangi kampung tersebut. Mereka mengkonsumsi singkong, bukan karena tidak mampu tapi karena masih mempertahankan tradisi adat turun-temurun. Singkong diolah menjadi rasi yang dibuat dari tepung singkong (Orang Aceh menyebutnya Ubi Kayu). Saya mencoba menyicipinya dan rasanya mirip nasi namun ada rasa berseratnya, hhhhmmm makanan yang enak ujar saya dalam hati.

Setelah mencicipi, saya menjadi penasaran dan mencari tahu mengapa mereka memilih singkong/ubi sebagai makanannya.

Ternyata pada awalnya mereka juga memakan nasi, namun buyut mereka mendapat wangsit dalam mimpinya. “ Semua makanan yang dimakan manusia seperti padi, jagung, sayur mayur mendatangi buyut masyarakat Cireundeu, dalam mimpinya itu beliau disuruh mengganti makanan pokok mereka, pertimbangannya adalah pada masa depan manusia akan mengalami pertumbuhan jumlah yang besar, tanah persawahan semakin menyempit dan hampir semua manusia memakan nasi sehingga akan terjadi kesulitan pangan. Dalam mimpi tersebut dia disarankan untuk menggantinya dengan makanan singkong/ubi. Mengapa ubi menjadi pilihannya? Itu karna ubi bisa ditanam dimusim apa saja dan panennyapun sangat cepat tidak seperti padi.” Setelah mendapat wangsit tersebut buyut mereka memerintahkan kepada masyarakat untuk mengganti makanan mereka dengan ubi. Sejak saat itu hingga sekarang mereka menjadi kampung yang berdaulat atas pangannya. Banyak Penghargaan yang diterima oleh mereka karna ketahanan pangannya. 

Masyarakat adat Kampung Cireundeu mempunyai prinsip hidup yang dianut yaitu: “Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat”yang maksudnya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Dengan maksud lain agar manusia ciptaan Tuhan untuk tidak ketergantungan pada satu makanan pokok saja. 

Ya beginilah sekelumit kisah dari perjalanan ini, Suka dan duka ada dikampung ini.

Comments

Popular Posts